2. Ajaran
Tao tidak memupuk sikap ambisi, perjuangan, dan persaingan karena menganggap
keberuntungan, sukses, dan keharuman nama laksana asap rokok yang hilang dalam
sekejap. Dimulai dari ajaran Yang Chu (479 – 381 SM) yang memandang rendah
harta benda serta memandang tinggi kehidupan. Ini tercermin dalam sebuah cerita
Yao ketika bertemu Hsu Yu. Yao ingin sekali menyerahkan pemerintahannya atas
dunia kepada Hsu Yu, namun Hsu Yu menolak sambil mengatakan: “Anda memerintah
dunia dan sudah dalam keadaan damai. Seandainya saya menggantikan kedudukan Anda,
apakah saya akan melakukannya demi nama? Sesungguhnya nama merupakan sekedar
bayang-bayang keuntungan yang sebenarnya. Apakah saya akan melakukannya demi
keuntungan yang sebenarnya? Seekor murai yang membuat sarangnya di hutan lebat
hanya menempati sebatang ranting belaka. Seekor tenuk yang meredakan rasa
hausnya dari air sungai hanya minum sekedar cukup untuk mengisi perutnya.
Sebaiknya Anda kembali dan tenang-tenanglah, saya tidak memerlukan dunia.”
Berbeda
dengan Yang Chu, Lao Tzu memandang hukum-hukum yang menguasai perubahan segala
sesuatu, namun hukum terssebut tidak dapat berubah. Hal yang paling mendasar
adalah “bila barang sesuatu telah mencapai suatu titik yang mengujung, maka ia
akan berbalik dari titik tersebut”. Contohnya : Manakala orang-orang kaya dan
berkedudukan tinggi bersikap angkuh, maka mereka membuka diri bagi keruntuhan
yang tak terelakkan. Keangkuhan merupakan pertanda bahwa gerak maju seseorang
telah mencapai batas yang mengujung, sedangkan bersikap merendah merupakan
pertanda bahwa batas tersebut masih jauh. Jauhilah hal-hal yang
berlebihan, yang melewati batas, yang mengujung. Orang bijaksana adalah orang
yang selalu bersikap puas diri. Berpuas diri merupakan dasar dari teori Taoisme
yang disebut Wu Wei yang artinya “tidak mempunyai kegiatan” dan “tidak berbuat”
maksudnya seseorang hendaknya membatasi kegiatan-kegiatannya pada apa yg
niscaya diperlukan dan apa yang kodrati atau wajar.
Lao
Tzu juga menekankan agar manusia selalu dalam “keadaan tidak berpengetahuan”,
sebab pengetahuan merupakan majikan sekaligus budak keinginan. Dengan
bertambahnya pengetahuan, manusia tidak lagi mampu untuk mengetahui bagaimana
caranya agar merasa puas dan di mana harus berhenti.
Ajaran
Chuang Tzu (369 – 286 SM) menyatakan apabila kita memahami kodrat segala
sesuatu, manusia tidak perlu takut dan cemas dengan kematian. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa Taoisme bereaksi terhadap ambisi manusia modern yang menggebu-gebu akan
kesuksesan dengan cara mengibaratkan segala sesuatu seperti air mengalir.
Manusia harus sadar bahwa segala sesuatu tidak kekal (keberuntungan, sukses,
dan keharuman nama) dan tidak selamanya manusia menjadi budak nafsu keinginan
karena semakin bertambahnya pengetahuan.