Senin, 10 Juli 2017



Novel “Ayah”



Tokoh                          : Sabari, Marlena, Marleni, Tamat, Ukun, Toharun, Zorro, Amirza, Amiru, Amirta, Amirna, Markoni, Syarif Miskin
Latar                            : Kampung Nira, Belantik Belitong
Terbit                           : Mei 2015
Tebal                           : 396 halaman
Penerbit                       : PT. Bentang Pustaka
Cetakan                       : Cetakan Pertama, Mei 2015
                                      Cetakan Keenam, Agustus 2015
                                      Cetakan Ketujuh, September 2015
                                      Cetakan Kedelapan, November 2015
  Cetakan kesembilan, Desember 2015
  Cetakan Kesepuluh, Januari 2016 
Penyunting                  : Imam Risdiyanto
Perancang Sampul       : Andreas Kusumahadi

Di suatu malam, Sabari duduk sendiri di beranda, sedih, kesepian, dan merana. Seekor kucing berbulu hitam bernama Abu Meong merupakan teman setianya. Marleni, istrinya telah pergi entah kemana. Tak hanya Sabari, rumah, pohon delima di pekarangan, merindukan Marlena, Marleni, dan terutama Zorro. Kawan dekat Sabari, Maulana Hasan Magribi (biasa dipanggil Ukun) dan Mustamat Kalimat (biasa dipanggil Tamat) sering mengingatkan Sabari agar jangan sering termenung karena bisa berakhir di Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa Amanah. Sabari teringatkan dan dia pun sering mengingatkan dirinya sendiri akan hal itu.
Amirza, ayah Amiru bekerja sebagai buruh di pabrik sandal jepit. Setiap malam dilaluinya dengan menjalin pukat di bawah lampu minyak sambil mendengarkan radio. Radio itu merupakan teknologi, harta satu-satunya yang dimiliki Amirza yang tampak sudah usang dengan ujung antenanya dililitkan kawat kuningan yang diulur menuju kebelakang rumah lalu ditautkan ke kawat kandang bebek. Radio itu diletakkan di atas lemari kaca dan taplak bermotif Melayu tradisional yang dirajut istrinya menjadi alasnya. Amirza sering bercerita kepada Amirta, usia 5 tahun dan Amirna, usia 3 tahun, dari celah dinding, Amiru sering mengintip ayahnya. Penduduk Kampung Nira suka sekali mendengarkan berita tentang Lady Diana mulai dari tua, muda, wanita maupun pria tak terkecuali Amirza. Orang-orang Nira berharap Lady Diana bersedia mengunjungi kampung mereka yang miskin.
Seperti anak-anak yang lain, Sabari senang bermain. Sepulang sekolah ia bermain katapel, mengejar layangan, hingga berlarian di padang dan berenang di danau galian tambang. Menurutnya Cinta adalah burung merpati dalam topi pesulap, tempat yang sangat jauh,  urusan konyol orang dewasa, dan perbuatan buruk yang dilindungi hukum. Ayahnya melarang ia untuk berpacaran sebelum tamat perguruan tinggi. Singkat cerita tamatlah Sabari dari bangku SMP. Impian berikutnya ia ingin masuk SMA negeri. Lulusan SMP sangat banyak dari setiap kecamatan maka diadakan ujian seleksi selama 3 hari di Markas Pertemuan Buruh (MPB). Dihari terakhir ujian, Sabari nampak tenang mengerjakan soal Bahasa Indonesia yang merupakan pelajaran kesukaannya. Dalam waktu singkat, ia telah menyelesaikan semua soal , sedangkan Ukun nampak kebingungan. Akhirnya waktu ujian telah selesai, ia mengumpulkan lembar jawabannya tetapi tiba-tiba seorang anak perempuan mengambil dengan paksa lembar jawaban Sabari dan lekas menyontek jawabannya. Usai menyalin semua jawaban Sabari, anak perempuan tersebut membereskan tasnya dan memberikan sebuah pensil, Sabari menerimanya dan ia kagum dengan mata anak itu yang indah. Setelah ujian itu, siang dan malam Sabari habiskan dengan menggenggam pensil pemberian anak perempuan itu sampai terbawa tidur.
Radio adalah benda yang menemani Amirza sepanjang hari. Istrinya sedang jatuh sakit dan Amiru sebagai anak pertama selalu merawat ibunya. Hal itu yang membuat Amirza dirundung kesedihan. Amirza senang sekali bereskperimen dengan radio usangnya, pada suatu malam hujan deras dan petir menyambar, antena di puncak pohon gayam disambar petir. Akibatnya antena dan pohon gayam itu tumbang. Amirza yang tengah khidmat mendengarkan lagu “Green Green Grass of Home” terkejut. Radio itu juga mengelurkan asap dan pingsan.
Markoni adalah seorang ayah yang keras dan disiplin, hal itu sebagai akibat penyesalannya karena tidak sempat sekolah tinggi padahal ayahnya Tuan Razak merupakan orang yang mampu dan ia ingin sekali Markoni mengikuti jejaknya di bidang maritim. Namun Markoni memilih hidup sebagai bedebah. Waktu SMP ia senang sekali merokok, lengan baju digulung tinggi-tinggi, bolos, pelajaran disepelekan merupakan suatu keajaiban ia bisa lulus STM, jurusan listrik. Markoni sempat meneruskan pendidikannya di Tasikmalaya, tetapi ketika pulang ia membawa istri. Tak lama kemudian ayahnya meninggal dan setalah itu Markoni menerima kenyataan hidup yang sebenarnya. Melamar kerja ditolak, usaha gagal, harus menyokong keluarga hingga terlilit hutang kepada rentenir. Ketika Markoni duduk di warung kopi terlintas dipikirannya untuk memulai usaha percetakan batako.
Sambaran petir malam itu membuat Amirza harus membetulkan radio kesayangannya di pasar ikan, Syarif Miskin yang merupakan teknisi dengan senang hati menjelaskan tentang cara kerja antena tersebut. Setibanya di rumah Amirza memikirkan makna kata kumparan logam yang lebar yang diucapkan Syarif Miskin, menurutnya arti kata itu adalah jalinan kawat ram yang menjadi kandang bebek. Amiru menyaksikan aksi ayahnya yang aneh. Diam-diam ia selalu melakukan analisis dan eskperimen-eksperimen ayahnya. Ia menonton aksi ayahnya sambil menahan tawa. Amirza terpana melihat radio itu kembali bersuara jernih. Ibu Amiru yang tengah terbaring di kamar terkejut dan lantas menuju ke ruang tengah dan dilihatnya Amiru dan Suaminya terpaku di depan radio.
Usaha percetakan batako milik Markoni mengalami kemajuan. Markoni menginginkan anak-anaknya tidak mengalami nasib yang sama seperti dirinya. Akan tetapi, dua anak lelakinya menempuh hidup sama seperti dirinya, yaitu sebagai bedebah. Anak bungsunya perempuan berpembawaan kalem, pendiam tetapi memiliki jiwa pemberontak. Markoni kehabisan akal untuk membuat anak bungsunya menjadi baik bahkan ia mengancam kalau anaknya tak lulus masuk sekolah SMA negeri maka tidak perlu melanjutkan sekolah yang lebih parahnya ia akan dinikahkan dengan anak pengusaha kopra dari karimun yang tertarik pada gadis itu. Si bungsu teringat kepada kakaknya yang menderita menikah muda, akhirnya ia rajin belajar tetapi ujian masuk sudah dekat tidak mungkin ia menguasai materi dalam waktu 2 hari. Tiap malam gadis itu memikirkan nasibnya dan ia ingin ada seseorang yang membantunya, namun tak seorang pun mampu membantunya, termasuk ibunya.
Di kampung lain, Sabari gelisah bukan karena hasil ujian tetapi karena perempuan yang memberinya pensil. Sabari melamun dengan banyak pertanyaan di kepalanya. Kedua temannya, Ukun dan Tamat kesal akibat Sabari tidak seperti biasanya. Setiap malam ia memikirkan perempuan yang telah merampas kertas jawabannya waktu itu. Dia harus tahu siapa anak perempuan itu, maka dari itu dia menunggu anak itu di MPB, pada saat hari pengumuman hasil ujian masuk SMA nanti. Tiba saatnya pengumuman itu diumumkan, Sabari yang sejak pagi menunggu di pekarangan MPB dengan cemas apalagi ia melihat teman-temannya menangis, setibanya di depan papan pengumuman Sabari melihat nama gadis itu Marlena. Dia bersorak karena nilai Bahasa Indonesianya 9,5 belum pernah ia mendapatkan nilai setinggi itu. Marlena segera pulang untuk memberitahu ayah dan ibunya. Sementara Sabari masih belum sadar bahwa ada Lena di sana.
Sabari mengawali SMA dengan senyum lebar, bertemu dengan teman-teman baru, guru baru, ilmu baru dan tak ketinggalan seorang perempuan bernama Marlena. Tiada hari dilewatkannya tanpa memandangi foto hitam putih Marlena, tiada jeda puisi dan surat dikirimnya. Sabari selalu berada tak jauh dari Lena dan sering mencuri pandang kepadanya. Akhirnya nilai rapor semester 1 Sabari jauh lebih baik daripada nilai Ukun dan Tamat, apalagi Toharun. Pelajaran kesayangannya adalah Bahasa Indonesia, ia sangat pandai membuat puisi, bakat ini ia dapat dari ayahnya yang seorang guru Bahasa Indonesia SD. Puisi karyanya yang berjudul Adalah sebagai berikut :
Cinta adalah mahkota puisi
Musim adalah giwang puisi
Hujan adalah kalung puisi
Bulan adalah gelang puisi
Cincin adalah perhiasan 
Melihat puisi itu, Bu Norma heran karena bahasa yang digunakannya metaforis. Hal ini juga didukung oleh rasa ketertarikannya kepada Lena.
Ukun, Tamat, dan Toharun sudah berulang kali mengingatkan Sabari untuk melupakan Lena. Namun ia tetap fokus kepada Lena. Untuk itu ia memata-matai Lena lewat temannya Zuraida, apa pun yang Zuraida katakan Sabari menurutinya. Izmi, teman sekelas Zuraida dianggap siswa lain mirip dengan Ukun, Tamat, Toharun. Seusai sekolah ia bekerja mencuci, menyetrika pakaian tetangga hingga malam. Ia sering benci kehidupannya. Keluarga Izmi sebelumnya kaya namun sejak kelas satu SMP, ayahnya ditangkap polisi karena korupsi. Hidupnya kekurangan. Oleh karena itu, ia mengubur cita-citanya untuk menjadi dokter hewan. Izmi sempat berkecil hati dan berniat berhenti sekolah namun karena mendengar cerita Zuraida tentang perjuangan Sabari mendapatkan Lena, ia sadar bahwa ia bukan satu-satunya orang yang malang di dunia ini. Izmi dan Sabari tidak pernah bertegur sapa, namun perjuangan Sabari mampu membuat Izmi sadar. Berbagai cara dilakukan Sabari untuk mendapatkan hati Lena, namun semua usahanya sia-sia.
Amiru bertanya-tanya, “bagaimana kandang bebek mampu membuat suara radio menjadi jernih?”. Sepulang sekolahnya, Amiru pergi ke kios elektronik Gaya Baru untuk bertanya kepada Syarif Miskin, tetapi ia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan karena terus didesak akhirnya Syarif Miskin mengatakan “Penerimaan sinyal radio di rumahmu buruk karena terlalu dekat dengan menara masjid maka terjadilah intervensi”. Amiru merasa bingung dengan penjelasan Syarif, ia belajar dengan tekun agar ia mampu menghadapi Syarif Miskin lagi.
Suatu ketika Sabari senang karena Ukun memberitahunya bahwa Lena menulis surat untuknya. Bergegas Ukun menuju majalah dinding, dibacanya surat itu
Untuk kau yang bernama S
Terima kasih untuk surat dan puisi-puisimu
Maaf, aku selalu tak sempat membalasnya
Tapi biar kau tahu, aku membaca semuanya, kalimat demi kalimat, kata demi kata,
Lagu yang kau kirimkan lewat radio, aih, aku suka
L
Ukun menatap Sabari, tetapi Sabari masih tidak yakin kalau surat itu untuknya. Menurutnya masih banyak nama orang yang berawalan S dan L. Ukun berusaha untuk meyakinkannya kalau surat itu untuknya.
Amiru sejak pagi mengharapkan hujan karena ia suka sekali mendengar suara rintik-rintik dan sesekali gemuruh menggelegar. Ia ingin seperti ayahnya yang dapat tersenyum karena hal-hal kecil. Amiru berniat untuk belajar pengetahuan listrik dan elektronika kepada Syarif Miskin guna menyenangkan hati ayahnya yang sangat menyayangi radio Philip tua itu. Hari silih berganti, Amiru naik ke kelas enam, Amirta naik ke kelas empat, Amirna masuk kelas satu, Amirza merasa kesulitan mengatasi biaya ditambah lagi istrinya yang harus dirawat di rumah sakit. Ia kehabisan akal untuk mengatasi kesulitan itu, tetapi ia teringat Syarif Miskin yang pernah manawarkan radio itu karena radio itu tergolong barang antik. Sepulang dari sekolah Amiru terkejut melihat radio tua itu tak ada lagi di rumahnya. Malam beranjak, Amiru melihat ayahnya tidak lagi mendengar radio dan ia melewati malam-malam sunyi.
Sabari menyesal telah mendebat Ukun soal surat itu. Sebagai permintaan maafnya Sabari mentraktir temannya Ukun, Tamat, Toharun. Sambil duduk di warung kopi, Tamat, Toharun serta Ukun menyarankan Sabari agar melupakan Lena karena masih banyak perempuan lain. Sabari berterima kasih atas nasihat kawan-kawannya itu. Dia sadar bahwa sudah saatnya bersikap rasional soal Lena. Bersusah payah Ukun membujuk agar Sabari melupakan Lena, namun di majalah dinding kembali terpasang surat terketik rapi.
Untuk kau yang bernama S, dengan dua huruf A
Usahlah jemu mengirimiku surat dan puisi
Puisimu adalah hiburan bagi sepiku di Kelumbi yang penuh dengan orang-orang udik ini
Wahai S dengan dua huruf A
Sudilah menerima maafku, karena aku belum sempat membalas puisimu
Telah kucoba menulis puisi, namun rupanya hanyalah mereka yang disayangi Tuhan yang mampu menulis puisi
Puisi-puisimu akan menjadi utang asmaraku untukmu
Yang akan kubayar nanti, lunas, sen demi sennya
Kulihat sesekali kau melintas di muka rumahku, mencuri pandang
Aku tahu, tak dekat jarak rumahmu ke rumahku
188 tiang listrik paling tidak
Namun, mana ada Romeo yang tak berkorban?
Julietmu, Lena
Ukun, Toharun, dan Tamat tak percaya kalau puisi tersebut untuk Sabari. Sabari terdiam dengan penuh pertimbangan. Sabari meninggalkan Ukun, Tamat dan Toharun yang berdiri terpaku. Dihampirinya majalah dinding, dicopotnya puisi Lena, dilipatnya dengan tenang, dan dibawanya pergi.
            Ibu guru Matematika Izmi kesal lantaran Izmi selalu mendapat nilai 2, paling tinggi 3. Padahal ia telah bersusah payah mengajarkan Izmi. Ditempat duduknya, ia cemas karena nilai ulangan geometrinya ternyata 6. Pulang sekolah Izmi berangkat ke rumah majikannya untuk mencuci dan menyetrika pakaian mereka, 11 orang jumlahnya. Dirogohnya saku celananya dan ia melihat kertas ulangan itu dan ia ingin cepat-cepat pulang untuk belajar. Kertas ulangan Matematika itu ditempel Izmi di dinding kamar dekat kaca, disampingnya ditulis nama Sabari, lalu ia berkaca dan tersenyum.
            Insyafi, ayah Sabari adalah seorang pensiunan guru SD, bidang studi Bahasa Indonesia. Ia memilih bidang itu karena ia gemar akan puisi. Anak pertamanya dinamai Berkahi, kedua perempuan dinamai Pasrahi, dan si bungsu dinamai Sabari. Karena jarak Sabari ke kakaknya jauh maka setiap malam ayahnya bercerita kepada Sabari. Insyafi gembira dapat membesarkan anaknya dengan puisi dan dapat menurunkan hobinya kepada anaknya. Di beranda rumah, Insyafi bersenandung puisi
Wahai awan
Kalau bersedih
Jangan menangis
Janganlah turunkan hujan
Karena aku mau pulang
Untukmu awan
Kan kuterbangkan layang-layang
Sejak saat itu, ayahnya selalu berpuisi merayu awan sebelum tidur hingga ia sudah bisa menyanyikan lagu itu.
Insyafi sering sakit karena usia, ia akhirnya memakai kursi roda dan Sabari senang mengajaknya keluar rumah untuk mencari udara segar. Sore itu, Sabari mendorong kursi roda ayahnya melintasi padang ilalang. Dia berhenti dan memandangi ilalang, Sabari tersenyum dan ayahnya langsung mengtahui kalau anaknya tengah dilanda Cinta. Ayahnya menatap angkasa lalu berkata
Waktu dikejar
Waktu menunggu
Waktu berlari
Waktu bersembunyi
Biarkan aku mencintaimu
Dan biarkan waktu menguji
Mereka sampai di pasar, melihat orang naik motor secara ugal-ugalan, tiga orang satu motor, berlarian dikejar polisi, ayahnya berfilosofi :
“Segala hal dalam hidup ini terjadi 3 kali. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati, Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati”
Ayah dan anak itu menuju dermaga untuk menyaksikan matahari terbenam di Sungai Lenggang.
            Senin merupakan hari yang disenangi Sabari baginya senin adalah hari yang paling indah dalam hidupnya. Sejak masih gelap Sabari telah berdiri menunggu Lena di bawah pohon akasia, dekat gerbang sekolah. Setelah sekian lama menunggu akhirnya Lena datang dengan mengebut naik sepeda menuju sekolah. Sabari berdebar-debar. Sekilas mereka beradu pandang, tetapi Lena seaakan Sabari tak ada di sana, sikapnya sama sekali tak mencerminkan kata-kata romansa dalam suratnya. Ukun, Tamat, Toharun tak habis mengerti dengan sikap Lena. Ukun mencoba mengiburnya. Waktu berjalan ke tempat parkir sepeda, tiba-tiba seorang siswa mengadangnya. Siswa tersebut tersenyum sambil mencium-cium saputangan yang biasa digunakan Lena untuk melapisi sadel sepedanya. Melihat hal itu Sabari sakit demam hingga 6 hari tidak masuk sekolah, ia sempat berkeinginan untuk keluar dari sekolah. Ibu Norma yang mendengar hal itu langsung kesal apalagi yang didengarnya desas-desus bahwa masalah Sabari bersangkut paut dengan Ukun, Tamat, Toharun, dan Bogel Leboi. Mereka dipanggil ke ruang guru oleh Ibu Norma. Kemudian mereka satu-persatu dinasihati.



Di sekolah, Sabari merupakan anak yang sangat rajin dikelasnya diaukai guru-guru dan sabari memiliki beberapa teman seperti izmi. Izmi adalah teman yang diam-diam menyukai sabari.Izmi tidaklah pintar tetapi berkat dekat dengan sabai izmi bisa belajar dengan lebih giat. 


Waktu ujian kelas 3 sma dimulai dengan sangat hati-hati dan tidak terburu-buru sabari mengerjakkan soal dengan baik. Walaupun pikirannya ke gadis yang dia sukai ia adalah Marlen atau yang disapa dengan Lena . Gadis yang selalu sabari sukai. Sabari membantu Lena dengan menuliskan cotekan yang sudah diperbaiki sehari seblum ujian tersebut dimulai. Setelah lulus sekolah dimulailah petualangan Sabari. Sabari mencari pekerjaan diluar kota. dengan Menjadi buruh dibantu dengan beberapa temannya. Setelah 1 tahun berlalu sabari merindukan kedua orang tuanya dan berencana untuk pulang kampung dan melamar pujaaan hatinya bak gayung bersambut Lena menerima lamaran sabari dan Sabari sangat bahagia karenanya.


Rumah tangga sabari dimulai dengan sangat unik, Lena selalu tinggal di rumah orang tuanya dan sabari di rumah orang tuanya juga, meski hanya sehari apalagi semalam, Lena tinggal bersama sabari

Tentu sabari berharap lena tinggal dengannya, untuk itu dia membangun rumah sederhana di jalan padat  karya, berbulan-bulan sabari membangun rumah itu dengan tangannnya sendiri, rumahnya khas melayu kampung

Setelah beberapa bulan, rumah kecil itu rampung sabari pun pindah ke rumahnya sendiri, Jika anaknya lelaki, dia sudah punya pilihan nama yaitu tabahi, tekuni, Ta’ati atau jujuri.

Sore itu, saat angin barat oktober bertiup kencang dan matahari menghamburkan cahaya jingga nan bergelora, pecah diatas langit belitong, lahirlah bayi lelaki mungil disertai lengkingan hebat bernada F. Bayi itu bak sebongkah cahaya. Sabari gemetar karena melihat bayi itu dia menemukan seseorang yang  selama ini bersembunyi di dalam dirinya. Itu adalah seorang Ayah

Akhirnya, semua yang diidamkan sabari satu persatu menjadi kenyataan,Lena dan bayi itu pindah dari rumah macaroni ke rumah yang baru dibangunnya. Keluarga kecil, rumah kecil, kebahagiaan besar, begitu perasaan sabari.

Setelah beberapa lama, ada desas desus lena mau menceraikan sabari, tetapi sabari tak percaya, walau begitu tak ayal dia gelisah. Zorro dapat merasakan kecemasan ayahnya, dia tak mau tidur jika tidak dipeluk ayahnya. Semua itu makin menghancurkan hari sabari.



Sabari tahu bahwa dia sudah bercerai dengan marlena dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri panitera pengadilan agama menggunting buku nikahnya Lena. Paspor untuk berangkat ke luar negeri bahagia untuk selama-lamanya itu telah dianulir oleh Negara.

Sabari menggigil. Tak ada yang paling ditakutkannya selain Zorro diambil darinya, namun sabari membujuk dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa buncai adalah pembual kelas satu.

Sabari berusaha mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang pahit.Sabari sepanjang jalan tak pernah berhenti berkicau, dia selalu melambai kepada siapa saja dan apa aja, dia menyapa pedagang kaki lima, orang gila, polisi lalu lintas, pohon, kucing, ayam dan bunga—bunga.

Oleh karena itu Zorro menjadi terkanal, jika dia lewat orang-orang senang memanggil anak yang menggemaskan itu.Zorro senang mendengar cerita dan sabari senang bercerita.

Kepribadian lena yang tak suka ambil pusing membuatnya mudah saja memutuskan bercerai. Dia tak pernah berpikir panjang tentang anaknya, menyianyiakan seorang lelaki yang punya ketrampilan di bidang motor dan menyia-nyiakan sabari.

Sabari takkan pernah lupa hujan lebat, September pada saat itulah lena mengambil zorro, sabari sadar bahwa segala hal yang dia lakukan selama ini adalah demi anaknya.

Hampir setahun marlena hidup berdua saja dengan zorro, Lena bergembira karena semakin hari bisa semakin dekat dengan zorro, yang telah berusiaa lima tahun, semakin cerdas dan semakin tampan.